Pengungsi Rohingya di Aceh Menghadapi Penolakan dan Diskriminasi

Sejumlah perempuan pengungsi Rohingya di kompleks Balai Latihan Kerja, Desa Blang Ado, Aceh Utara, 15 Juni 2015. Sumber Foto: www.benarnews.org


Sejak November 2023, ratusan pengungsi etnis Rohingya telah tiba di pesisir Aceh dengan menggunakan perahu-perahu kayu. Mereka berasal dari kamp-kamp pengungsian di Bangladesh, tempat mereka melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar yang disebut sebagai genosida oleh PBB.

Namun, kedatangan mereka tidak disambut baik oleh sebagian warga Aceh, yang merasa tidak nyaman dengan tingkah laku dan keberadaan mereka. Beberapa kasus penolakan dan diskriminasi terjadi, seperti:
  • Pada 27 Desember 2023, sekelompok mahasiswa melakukan aksi di salah satu lokasi penampungan pengungsi Rohingya di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA), dan mengusir mereka secara paksa. Mereka menuduh pengungsi Rohingya melakukan tindak kriminal, seperti pencurian, pemerkosaan, dan penyebaran penyakit.
  • Pada 25 Januari 2023, sekitar 400 pengungsi Rohingya melarikan diri dari kamp di Lhokseumawe, tanpa sepengetahuan penjaga. Mereka diduga ingin pergi ke Malaysia, yang merupakan negara tujuan akhir mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia hanya menjadi tempat transit bagi mereka, dan tidak menghargai bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat Aceh.
  • Pada 29 Desember 2023, seorang pengungsi Rohingya bernama Abdul Hamid meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Cut Meutia, Aceh Utara, akibat penyakit TBC. Ia merupakan salah satu dari 94 orang pengungsi Rohingya yang terdampar di Pantai Seunuddon pada Juni 2020. Jenazahnya kemudian dimakamkan di pemakaman umum setempat, dengan pengawalan ketat dari aparat keamanan.

Situasi pengungsi Rohingya di Aceh menimbulkan berbagai persoalan, baik dari segi kemanusiaan, hukum, maupun keamanan. Pemerintah Indonesia, yang tidak menandatangani Konvensi Pengungsi tahun 1951, tidak memiliki kewajiban hukum untuk menampung mereka. Namun, sebagai negara yang menghormati hak asasi manusia, Indonesia juga tidak bisa mengabaikan nasib mereka yang mengalami penderitaan.

Untuk itu, diperlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga internasional, seperti UNHCR, untuk mencari solusi terbaik bagi pengungsi Rohingya di Aceh. Selain memberikan bantuan kesehatan, makanan, dan tempat tinggal, juga perlu memberikan pendidikan, keterampilan, dan kesempatan untuk berintegrasi dengan masyarakat setempat. Di sisi lain, pengungsi Rohingya juga harus menghormati hukum, budaya, dan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia, serta tidak melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Posting Komentar untuk "Pengungsi Rohingya di Aceh Menghadapi Penolakan dan Diskriminasi"